“Jiwaku untuk kejiwaan Mereka”
Oleh : Aufklarung Nugroho
“Hey..., Apa yang
kamu lakukan diatas sana? Turunlah!”
Seorang laki-laki
muda bertampang culun, berteriak kearah seorang wanita yang sedang duduk
dipinggiran balkon gedung lantai 3 yang sepi.
“Bahaya disitu,
cepatlah turun!!”
Teriak laki-laki
itu sekali lagi, akan tetapi wanita tersebut tetap tidak beranjak dari
tempatnya. Dengan tatapan kosong sembari mengayun-ayunkan kakinya hingga alas
kaki yang ia pakai jatuh melayang dari atas.
“Hoy! Tetaplah disitu!
Jangan lakukan hal yang aneh-aneh, Oke?!”
Laki-laki itu
berteriak lebih tegas kali ini dan ia segera berlari menuju keatas. Dengan susah
payah dan nafas terengah-engah akhirnya ia sampai dilantai 3. Perlahan-lahan ia
mulai mendekati wanita itu dengan penuh kehati-hatian. Mendekati jarak dua
meter, langkah laki-laki itu terhenti.
“Stop,
jangan dekati aku!”
Wanita itu berteriak tanpa menoleh
sedikitpun kearahnya. Laki-laki itu terdiam sejenak sembari mengatur nafasnya
yang masih sedikit tersenggal. Mencoba tenang sembari berpikir untuk membujuk
wanita itu agar tidak bertindak nekad.
“Hey, Apa masalahmu?”
Kata laki-laki itu dengan lebih
tenang dan perlahan mendekatinya lagi.
“Aku bilang stop kamu
tahukan apa artinya! Sekali lagi kamu mendekat aku akan lompat!”
Wanita itu berteriak lebih lantang
kali ini dan masih tidak menoleh sedikitpun kearahnya.
“Oke, Baiklah, Aku tidak akan
mendekat. Tapi apa masalahmu?”
Laki-laki itu menghentikan
langkahnya dengan sedikit gugup mencoba
menenangkan wanita tersebut. Kali ini wanita itu menoleh, memandang kearahnya
dengan wajah yang geram.
“Apa pedulimu dengan masalahku?!”
“Tentu saja aku peduli. Setiap orang
punya masalah, bukan cuma dirimu saja. Kalau hanya gara-gara masalah sepele
kamu bertindak nekat untuk mengakhiri hidupmu, aku jamin kamu adalah manusia paling bodoh.”
“Diamlah, kamu tidak tau apa yang
sedang aku rasakan!”
“Maka dari itu ceritakanlah
kepadaku.”
Wanita itu perlahan menangis dengan
sangat emotional dan laki-laki itu mencoba menenangkannya.
“Aku ingin menanyakan satu hal
kepadamu.”
“Apa? Tanyakan saja.”
“Apa yang akan kamu lakukan jika semua
orang tidak menyukai kehadiranmu didunia ini?”
Laki-laki itu terdiam sejenak mendengar
pertanyaan wanita itu.
“Kamu tidak bisa menjawabnyakan?”
“Bukannya aku tidak bisa menjawab.
Sepertinya kita memiliki masalah yang sama, hanya saja yang membedakan adalah
aku tidak pernah sedikitpun berpikiran untuk mengakhiri hidupku.”
“Percuma saja kita hidup didunia
ini kalau tidak ada yang memperdulikan kehadiran kita.”
“Kau salah. Sebenarnya banyak orang
yang peduli kepadamu, banyak yang diam-diam memperhatikan kegiatanmu, hanya
saja mungkin dirimu tidak menyadarinya.”
“Apa katamu? Kalau banyak orang
yang menyukai kehadiranku, mana mungkin aku dibully setiap hari oleh
temen-teman sekolahku? Mana mungkin ayah dan ibu selalu marah-marah kepadaku, seakan-akan
apa yang aku lakukan selalu salah dimata mereka. Apakah seperti itu yang
dinamakan peduli?”
“Hey.., apakah hanya kejelekan saja
yang kamu ingat? Coba ingat-ingat lagi kebaikan yang pernah orang lain berikan
kepadamu. Tidak semua temanmu suka membully, mungkin ada satu orang
temanmu yang sebenarnya iri dengan kehidupanmu yang diam-diam selalu mendoakan
kebaikan kepadamu. Soal orang tuamu, pasti mereka punya alasan mengapa mereka
marah kepadamu. Ingatlah saat kamu masih bayi, siapa yang menggendong dan
memberikan susu saat kamu menangis. Siapa yang mencukupi kebutuhan sehari-hari
agar kamu tetap bisa menikmati makanan lezat? Ingatlah kebaikan-kebaikan
mereka.”
Wanita itu sejenak terdiam, sudah
banyak air mata yang menetes dan jatuh membasahi pipi. Ia mencoba menghela
nafas panjang.
“Hey, kemarilah.”
Laki-laki itu menjulurkan tangan
kanannya mengajak agar wanita itu turun dari dinding balkon. Dengan sedikit
ragu, wanita itu menerima juluran tangannya.
“Ingatlah selalu pesanku ini. Tersenyumlah,
semua akan baik-baik saja.”
*****
“Dok..., Dokter. Dokter tidak apa-apa?”
Seseorang mencoba menyadarkan aku dari lamunan.
“Maafkan aku. Bagaimana keluhan anda tadi coba ceritakan kembali?”
Aku mencoba memperbaiki dudukku dan menutupi rasa maluku dengan
tersenyum agar semua terlihat baik-baik saja.
“Jadi begini Dokter Estina, Saya merasa bahwa hidup saya tidak
berarti lagi. Tidak ada yang perduli dengan diri saya. Apa yang harus saya
lakukan dok?”
Sejenak Aku terdiam lalu menghela nafas panjang dan berkata, “Tersenyumlah,
semua akan baik-baik saja.”